MAKALAH SEJARAH SITU GEDE DI TASIKMALAYA
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Situ Gede merupakan salah satu obyek wisata dan situs sejarah yang berada
di Kota Tasikmalaya. Namun meskipun obyek wisata Situ Gede begitu terkenal di
kalangan warga Tasikmalaya dan sekitar wilayah Priangan Timur lainnya seperti
Ciamis, sejarah tentang Situ Gede ini tidak sepamor itu. Banyak kalangan
masyarakat yang notabenenya tinggal di sekitar Situ Gede dan kota Tasikmalaya
tapi tak tahu menahu tentang sejarah situ yang satu ini, termasuk kami sebagai
penulis. Sejarah memang sesuatu yang tak bisa lepas dari kehidupan kita, karena
sejarah merupakan penerangan ketika kita ingin mengetahui lebih lanjut tentang
asal usul sesuatu. Oleh karena itu kami sebagai penulis akan mencoba mengupas
sejarah yang berkaitan dengan situ ini,
baik awal terbentuknya, sampai cerita-cerita yang beredar di masyarakat tentang
Situ Gede.
2. Rumusan Masalah
a) Bagaimana asal-usul awalnya Situ Gede terbentuk?
b) Bagaimana keterkaitan Eyang Prabudilaya dengan Situ Gede?
c) Apa saja hal yang terkait dengan sejarah Situ Gede pada
masa lalu?
3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pelaksanaan observasi serta penyusunan
makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana asa-usul serta sejarah tentang
Situ Gede. Karena ketika kita mengetahui tentang sejarah situ ini, diharapkan
itu dapat menumbuhkan rasa cinta kita terhadap Situ Gede.
4. Metodelogi Penelitian
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan,
penulis mempergunakan metode observasi atau teknik pengamatan langsung, teknik
wawancara, dan teknik studi kepustakaan atau studi pustaka. Selain itu kami
juga mencari bahan dan sumber-sumber lain dari internet.
5. Sistematika Penulisan
Pada makalah ini, akan dijelaskan hasil observasi yang
dimulai dari bab pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penulisan, metodelogi penulisan sampai terakhir kepada
sistematika penulisan. Dilanjutkan dengan bab pembahasan, kemudian berikutnya
bab penutup yang meiliputi kesimpulan serta saran. Selanjutnya Bab yang berisi daftar
pustaka dan yang terahir bab yang berisi lampiran.
BAB II PEMBAHASAN
Sekilas Tentang Situ Gede Serta Awal Terbentuknya
BAB I
Situ Gede adalah objek wisata alam yang cukup memikat di
daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Danau ini memiliki luas 47 Ha dengan kedalaman
air antara 1,5 meter sampai dengan 6 meter. Persisnya terletak di Kelurahan
Linggajaya, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya. Situ Gede mulai ada sejak tahun
1530, setelah salah satu gunung di kawasan Tasikmalaya meletus. Nama gunung tersebut
adalah Gunung Pancawayana. Soal dimana letak gunung ini sendiri menjadi misteri
hingga sekarang. Namun disebut-sebut gunung ini masih ada, hanya sejak lama
masyarakat menyebutnya dengan nama lain. Sehingga keberadaan Gunung Pancawanaya
ini tidak jelas lagi. Setelah Gunung Pancawanaya meletus, dari dalam tanah
keluarlah air dalam jumlah besar. Lama-lama membentuk telaga yang kini disebut
Situ Gede. Salah satu daya tarik Situ Gede adalah adanya sebuah pulau yang
terdapat ditengah-tengah danau.Di Pulau tersebut terdapat Makam Eyang Prabudilaya, seorang tokoh penguasa pada masa silam yang mitosnya telah menjadi Legenda
bagi Masyarakat Sunda dan Makam Eyang Prabudilaya hingga kini masih dikeramatkan
oleh masyarakat sekitar Situ Gede.
Purnama bersinar, menerangi alam Sumedang yang tengah lelap tertidur, negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi, kini seolah beristirahat menikmati hasil kerjanya selama sehari penuh, diantara kesunyian malam dan sinar purnama, masih terdengar kentungan dipukul orang, menandakan tidak semua warga terlelap, namun masih ada yang terjaga menjaga lingkungannya. Namun di halaman belakang komplek istana kerajaan Sumedang, masih terdengar sesuatu yang agak asing ditelinga, lengkingan suara yang agak tertahan namun mantap mengandung tenaga, disertai desingan sesuatu yang membelah udara, terdengar jelas dimalam yang telah larut itu, cahaya remang obor bambu, melengkapi sinar purnama yang menyinari seorang pemuda tegap tengah memperagakan ilmu kanuragan dengan gesit, cepat mantap dan bertenaga, itulah Prabu Adilaya, Raja Muda Sumedang yang tengah menempuh ujian terakhir dari ilmu kanuragan yang dipelajarinya, sebagai seorang raja, tentu saja harus memiliki berbagai ilmu untuk menjaga diri dan menjaga masyarakatnya, disamping ilmu kenegaraan, harus pula dipelajari ilmu lain termasuk ilmu kanuragan dan bela diri.
Di bawah pohon yang agak rindang, duduk seorang pria tua berjanggut panjang, mengenakan pakaian serba hitam kepalanya yang berambut putih diikat dengan ikat kepala hitam, kakek ini dengan cermat memperhatikan Sang Prabu yang tengah berlatih, kadang-kadang kepalanya mangut-mangut, atau senyum kepuasan tersungging di bibirnya yang keriput. “Cukup Raden!” tiba-tiba si Kakek berseru Prabu Adilaya berhenti, kemudian berbalik menghadap gurunya dengan gerakan menyembah, “Terimakasih, Eyang Guru” “Sekarang duduklah, Raden” Prabu Adilaya, duduk bersila, kedua tanganya berada di atas pangkuannya
“Tenang, Raden”
Kakek yang dipanggil Eyang guru, melugas pedang yang berkilau mengkilap diterpa cahaya bulan, tiba-tiba pedang itu menebas punggung Sang Prabu, terdengar suara sesuatu yang patah dan terlempar, Eyang Guru berdiri tegak, memperhatikan pedang yang ternyata sudah patah terpotong dua, ada senyum puas tersungging dari bibir keriput Eyang Guru, kemudian, dengan langkah ringan menghampiri muridnya yang duduk bersila, tangannya terjulur kedepan, seraya berkata dengan mengulum senyum “ Lulus Raden” Ketika ayam berkokok dan matahari menyeruak embun pagi, Guru dan murid tengah bercengkrama, di serambi samping istana, disuguhi makanan dan minuman hangat. “Raden, semua ilmu yang kumiliki, sudah kuajarkan semua kepadamu, dan Raden sudah menyerapnya dengan baik, namun bagi seorang Raja, kiranya ilmu yang kuajarkan belum cukup, harus disertai dengan ilmu bathin terutama ilmu agama” kata Eyang Guru sambil menatap muridnya”
“Saya pun merasakannya, Eyang, ilmu kanuragan yang Eyang ajarkan masih perlu ditambah dengan ilmu agama, sehingga, dalam menjalankan roda pemerintahan, saya memiliki dasar yang kuat dan dapat bertindak bijaksana” Prabu Adilaya, menjawab dengan penuh harap, “Kemana lagi saya harus berguru, Eyang? Sang Prabu yang muda dan haus ilmu tampak sangat berkeinginan untuk belajar lebih banyak. “Pergilah ke Mataram, bergurulah kepada KYAI SYEH JIWA RAGA, disana Raden akan mendapatkan ilmu-ilmu bathin dan ilmu agama” “Terimakasih Eyang guru” Sang prabu mencium tangan gurunya, orang tua yang sudah berambut putih ini merapatkan kedua tangannya di dada, seraya menghaturkan sembah, dia berkata “Saya mohon pamit, Raden” “Silahkan, terimakasih, Eyang” “Sampurasun” “Rampes”.
***
Siang itu Prabu Adilaya menjalankan tugasnya sehar-hari sebagai seorang Raja,
disaat tertentu selalu terngiang perkataan gurunya, bahwa ilmu yang kini
dimilikinya belumlah cukup untuk seorang Raja, namun harus ditambah dengan ilmu
bathin terutama ilmu agama, harus ke Mataram untuk mencarinya, seketika sang
prabu merasakan kekosongan, ternyata benar kata pepatah, batang padi semakin
berisi semakin merunduk, semakin banyak ilmu seseorang, semakin merasakan
kekurangan, semakin haus akan ilmu, namun keinginan untuk menuntut ilmu berarti
harus meninggalkan Sumedang dan berbulan-bulan di Mataram, sementara tampuk
pemerintahan saat ini sang Prabu-lah yang bertanggung jawab. Tetapi
kebingunan itu tidak lama, Prabu Adilaya teringat, bahwa selalu ada orang yang
mampu memberi jalan keluar dari semua persoalan yaitu ibunya. Sang prabu pun
turun dari singgasananya dan berjalan keluar keprabon, melewati taman sari,
tibalah ke kaputren tempat ibunya tinggal. “Saya haturkan sembah, Kang Jeng Ibu” “Silahkan Raden, Pangeranku, wajahmu tampak murung, utarakanlah pada Ibu,
Raden” Prabu Adilaya manarik nafas dalam-dalam, begitu bijaksana Ibunya
sehingga dapat melihat kemurungan diwajah anaknya.
Dengan lemah lembut Prabu Adilaya menyampaikan maksudnya untuk berguru ke Mataram sebagai bekal untuk dapat memerintah secara adil dan bijaksana, disampaikannya pula bahwa menuntut ilmu agama dan ilmu lainya akan memakan waktu berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun sementara kerabuan di Sumedang harus ditinggalkan, tanpa diduga, Sang Ibu terseyum mendengar keluhan putranya.
“Bagi seorang raja, sangatlah perlu memiliki ilmu agama dan ilmu lainnya, ibu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa dan bangga ternyata Kangjeng Rama tidak salah pilih menobatkan, sebagai Raja, sudah ada sifat kearifan seorang raja dalam dirimu, keinginanmu untuk menuntut ilmu, merupakan keinginan yang luhur, pergilah anaku, tugasmu sehari-hari akan dilaksanakan oleh adikmu” Wajah Prabu Adilaya kembali berseri-seri seolah medapat kejatuhan bintang dari langit, sejenak ibunya melanjutkan : “Bawalah serta istrimu dan pelayanmu yang setia” Prabu Adilaya pun mohon pamit untuk melakukan persiapan keberangkatannya.
BAB II
Seolah berlomba dengan ayam berkokok, Prabu Adilaya didampingi istrinya Nyai
Raden Dewi Kondang Hapa dan sepasang pelayannya Sagolong dan Silihwati
berangkat dari tanah Sumedang kearah timur menyongsong matahari pagi, melalui
padang terjal berbukit, mengarungi kelebatan hutan, menuruni lembah dan mendaki
bukit, banyak malam harus dilewatkan dengan tidur beralas daun kering
berkelambu birunya langit, akhirnya sampai jugalah ke Mataram ke tempat dimana
Kyai Jiwa Raga bermukim. Kyai dengan wajah cerah menyambutnya, memberikan
tempat yang terbaik bagi sang Prabu dan kedua pelayannya, ketika menyampaikan
maksudnya untuk berguru, Kyai dengan senang hati menerimanya sebagai muridnya.
Keinginan sang Prabu yang sangat kuat untuk mempelajari Ilmu Agama menyebabkan dia cepat menyerap ilmu yang diajarkan, banyak kitab kuning yang dapat dihapal dalam waktu singkat, banyak pula kitab-kitab lainnya yang masih harus dibacanya dengan tekun dan ulet, kesungguhannya dalam belajar dan kemampuannya yang luar biasa tidak luput dari perhatian Kyai yang mengajarnya yang selalu terkagum-kagum dengan semangat belajar yang sangat tinggi.
Tak terasa sudah empat purnama berlalu Prabu Adilaya tak sempat banyak berpikir dan berbuat lain, waktu sesaat pun dimanfaatkan untuk menyerap pelajaran yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, gurunya. banyak hal keduniawian terlupakan termasuk istrinya yang selalu mendampinginya sejak dari Sumedang. Suatu saat, Kyai Jiwa Raga berbicara kepada muridnya: “Raden, apa yang saya miliki, sudah saya ajarkan kepadamu, namun mempelajari islam tidak cukup dari satu sumber, Raden harus berguru kepada yang lain” Prabu Adilaya menganguk-ngangguk seraya berkata : “Setiap saat saya menemukan persoalan yang harus dipecahkan dengan bantuan ajaran Islam, ijinkan saya untuk menambah ilmu yang Kyai berikan, dan mohon petunjuk harus kepada siapa saya berguru ?. “Pergilah ke tatar Sukapura, banyak Kyai yang berilmu luhung disana, tetapi sebelum pergi, sudikah Raden membawa putri saya Dewi Cahya Karembong dalam perjalanan Raden” Kyai Jiwa Raga menatap muridnya dengan penuh harap. “Dengan senang hati Kyai” “Seandainya Raden berkenan, jadikanlah putri saya sebagai istri raden yang kedua” Prabu Adilaya agak kaget mendengar perkataan gurunya, sebagai murid dia harus patuh kepada Guru, namun dia sudah beristri dan sampai saat ini terlupakan karena terlalu tekun dalam mempelajari Agama Islam, tetapi ketaatan kepada gurunya, menyebabkan Prabu Adilaya tidak kuasa menolak tawaran itu, “Baiklah, Kyai, saya akan menjadikan Dewi Cahya Karembong sebagai istri kedua” “Terimakasih Raden”
Tidak berselang lama, dilakukanlah upacara akad nikah antara Prabu Adilaya
dengan Dewi Cahya Karembong, putri Kyai Jiwa raga yang cantik jelita, upacara
sederhana yang dihadiri oleh seluruh murid Kyai Jiwa Raga, sekaligus menandai
bahwa Prabu Adilaya merupakan murid Kyai Jiwa Raga yang paling pandai, yang
dinikahkan dengan putri Kyai, tradisi ini bertahan sampai sekarang, santri yang
paling pandai dari sebuah pesantren akan dinikahkan dengan putri ajengan
(Kyai). Keinginan untuk belajar Ilmu Agama Islam Prabu Adilaya tetap membara, sang
prabu berpamitan kepada Kyai, untuk melakukan perjalanan ke Tatar Sukapura
mencari Guru yang dapat mengajarkan Agama islam lebih dalam dan lebih banyak,
Kyai pun memanjatkan do’a untuk keberangkatan menantu dan putrinya yang
disertai Raden Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya.
BAB III
Perjalanan dari Mataram menuju Tatar Sukapura bukanlah perjalanan dekat, hampir
sama dengan perjalanan dari tatar Sumedang ke Mataram, kali ini perjalanan
lebih menggembirakan karena anggota rombongan bertambah menjadi enam orang
dengan hadirnya Dewi Cahya Karembong, sepanjang perjalanan Prabu Adilaya dengan
kedua istrinya selalu kelihatan ceria, untuk membuang kejenuhan sepanjang
perjalanan Prabu Adilaya selalu bercerita yang disarikannya dari cerita
sempalan Tarikh Islam, tentang kebijakan Rosululloh dalam menyebarkan Agama
islam, kesederhanaan Rosul, keberaniannya dalam menegakkan agama Islam terutama
kebesaran jiwa Rosul dalam menghadapi musuhnya yang belum beragama Islam,
apabila malam menjelang mereka beristirahat melepas lelah, tetapi Prabu Adilaya
selalu membaca ulang kitab-kitabnya yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, sampai
kedua istrinya tertidur pulas, sang Prabu masih membaca kitabnya dengan teliti,
barulah ketika ayam berkokok satu kali, setelah sembahyang tahajud, sang Prabu
merebahkan tubuhnya diantara kedua istrinya, ketiganya tertidur berkelambu
langit cerah berbintang.
Banyak malam telah dilewati, perjalanan pun semakin jauh, Prabu Adilaya tetap dengan kebiasaannya menekuni kitab-kitab ajaran islam sampai larut malam, kebiasaan suami istri terlupakan begitu saja karena bagi Prabu Adilaya membaca kitab jauh lebih mengasikan, sampai suatu saat, ketika memasuki tatar Galuh, Dewi Cahya Karembong merasakan sesuatu yang hilang dari perannya sebagai seorang istri, ada perasaan mungkin dirinya kurang menarik perhatian suaminya, dibanding Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya, perasaan itu mengundang tanda tanya besar dalam diri Dewi Cahya Karembong, sampai suatu saat takala Prabu Adilaya sedang berwudhu dan tidak ada di tengah-tengah kedua istrinya, Dewi Cahya Karembong bertanya kepada Dewi kondang Hapa: “Maaf Aceuk*, sejak saya dinikahkan sampai saat ini saya belum pernah melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri, kadang-kadang saya merasa disia-siakan dan diabaikan, apakah Aceuk merasakan hal yang sama atau kalau sama Aceuk biasa-biasa saja?”
Dewi Kondang Hapa merenung sejenak, pelan sekali
dia menjawab: “Aceuk pun merasakan hal yang sama, bahkan kalau itu suatu penderitaan,
penderitaan Aceuk lebih lama dari yang Nyai rasakan, karena Aceuk menikah sudah
hampir setahun ini, tapi belum diperlakukan sebagai istri” “Sungguhkan ?” Dewi
Cahya Karembong terperanjat mendengarnya “Benar Nyai, sejak menikah Aceuk belum
merasakannya” kata Dewi Kondang Hapa datar, seolah kepada dirinya sendiri “Apakah mungkin kakang Prabu memiliki kelainan……………?” “Tidak,
Nyai, Kakang Prabu seorang laki-laki sejati” Dewi Kondang Hapa menjawab dengan
tegas.
Obrolan kedua istri itu terhenti saat Prabu Adilaya menghampirinya, tetapi dalam bahasan yang sama mereka mengobrol pada saat-saat senggang, tetapi semakin lama, semakin mereka rasakan ada ketimpangan dalam kehidupan perkawinan mereka, mereka merasakan kehampaan dan kesepian, padahal suami yang mereka cintai tidur berdampingan tiap malam, mereka juga merasakan jarak yang makin lebar, padahal setiap saat hampir tidak pernah jauh terpisah. Ketika melihat burung berkasihan dalam perjalanan yang mereka lewati merekapun merasakan lebih hina dari seekor burung. Suatu saat, ketika ada waktu senggang yang cukup panjang, Dewi Kondang Hapa bertanya: “Aceuk, Kakang Prabu hendak mencari guru baru?” “Betul, kalau Kakang Prabu bermaksud untuk berguru lagi, berarti kita semakin tersia-siakan” “Seandainya Kakang Prabu punya Guru baru dan menjadi murid paling pandai, tentu akan dinikahkan dengan putri gurunya lagi” berkata Dewi Cahya Karembong sambil memandang kebiruan langit, seolah hanya untuk didengar oleh dirinya sendiri. “Mungkin penderitaan kita akan semakin panjang, disamping menunggu kakang Prabu selesai berguru, juga akan ada istri baru” Dialog kedua istri yang dilanda sepi berlangsung semakin hangat dan panas, secara bertahap munculnya niat yang kurang baik, entah siapa yang memulai, dari niat itu dikembangkan menjadi sebuah rencana, tanpa disadari Dewi Kondang Hapa menbuka buntelan berisi sebuah keris pusaka yang diwariskan dari orang tuanya, demikian pula Dewi Cahya Karembong melakukan hal yang sama.
Malam harinya pada saat Prabu Adilaya mulai merebahkan diri ditengah kedua istrinya dirasakan sangat berat matanya, sebagaimana biasa sebelum tidur, dipanjatkan doa kepada Allah SWT untuk memohon ampunan dan karuania Nya, Sang Prabu memejamkan mata sambil menyungging senyum, beberapa saat kemudian, kedua istrinya terbangun, diambilnya pusaka masing-masing, dihunusnya pusaka itu dan diangkat dengan kedua tangan diatas dada Prabu Adilaya yang tengah tertidur pulas, pada saat yang hampir bersamaan, dengan keras dihujamkan pusaka itu ke dada Prabu Adilaya, tidak ada jeritan atau lenguh kesakitan, hanya terdengar sebutan asma Allah, bersamaan dengan itu, Prabu Adilaya menghembuskan nafasnya yang penghabisan, darah merahpun memancar dari dada Prabu Adilaya membasahi pakaian dan sedikit demi sedikit membasahi tanah dimana tubuh sang Prabu terbujur, tanah sekitar tubuh itu berubah warna menjadi merah, demikian pula air tanah yang keluar sekitar tubuh sang Prabu warnanya kemerahan, sejak saat itu tempat dimana sang prabu dibunuh dinamakan CIBEUREUM (beureum = merah)
Burung-burung malam seolah berhenti berkicau, langit cerah mendadak mendung, pucuk-pucuk pohon seolah turut bersedih dengan dihilangkannya nyawa seorang pangeran yang sedang menuntut ilmu dibidang keagamaan, tinggalah dua istri yang kebingungan disertai rasa penyesalan yang mendalam,mereka duduk termenung, sementara kedua pelayannya yang setia Sagolong dan Silihwati masih pulas tertidur, dengan bisik-bisik kedua istri itu berembuk untuk mengubur jenazah di tempat yang jauh dan tersembunyi agar tidak ditemukan utusan dari Sumedang. Akhirnya diputuskan untuk menggotong jenazah yang dimasukan kedalam kain sarung dan digotong dengan sepotong kayu, mereka berangkat kearah barat, sementara kedua pelayannya mengawasi dari kejauhan dengan terheran-heran tanpa bisa bertanya, ketika sampai di tanah datar yang luas., mereka bermaksud untuk mengubur jenazah disana, namun setelah dipikirkan lagi, ternyata ditempat itu akan mudah ditemukan, maka perjalanan pun dilanjutkan menelusuri anak sungai kearah hulu , disuatu tempat kayu yang digunakan untuk menggotong mayat Prabu Adilaya patah, Dewi Cahya Karembong mengambil sebatang kayu pendek dan berusaha menyambung kayu penggotong, tempat bekas menyambung kayu tersebut sampai saat ini dinamakan SAMBONG.
Perjalanan pun dilanjutkan beberapa kali kayu penggotong
patah dan disambung sampai pada suatu saat kedua istri itu merasa bingung
karena kayu penggotong ternyata selalu patah sekalipun sudah diganti akhirnya
Dewi Kondang hapa mencoba mengganti penggotong yang baru dan melumuri kayu
tersebut dengan tanah ternyata kayu tersebut tidak lagi patah, tempat bekas
melumuri penggotong dengan tanah tersebut dinamakan MANGKUBUMI (= mengangkat
tanah)
Karena belum menemukan tempat yang tepat untuk mengubur jenazah, kedua istri Prabu Adilaya berbelok ke utara, mendaki bukit-bukit kecil akhirnya sampai ke daerah rawa-rawa, dari kejauhan terlihat ada tanah yang tidak digenangi air, mereka menuju kesana, ditempat itu Dewi Cahya Karembong memerintahjkan kedua pelayannya untuk menggali lubang, pada saat kedua pelayan itu menggali, Dewi Kondang Hapa berbisik kepada Dewi Cahya Karembong, bahwa seandainya kedua pelayan itu dibiarkan hidup tentu akan melaporkan kepada Raja Sumedang bahwa Prabu Adilaya dibunuh kedua istrinya, kedua istri sepakat bahwa kedua pelayan itu juga harus dihabisi untuk menjaga rahasiah mereka, maka sebelum lubang kubur selesai digali, kedua pelayan itu, Sagolong dan Silihwati dibunuh, dan mayatnya dikuburkan bersama-sama dengan jenazah Prabu Adilaya. Sebelum matahari tepat diatas kepala penguburan ketiga jenazah itu telah selesai, mereka meninggalkan makam tanpa nisan itu, ada rasa penyesalan tak terkira pada diri mereka, Dewi Kondang Hapa berkata “Seandainya Aceuk kembali ke Sumedang tentu Aceuk akan dihukum, atau setidaknya banyak orang bertanya kemana Prabu Adilaya, kiranya akan lebih baik kalau Aceuk tinggal di daerah ini biar dapat menjaga makam Kakang Prabu” “Baiklah, Nyai akan pulang ke Mataram, namun apabila ada sebuah padepokan atau pasantren, Nyai akan singgah dan berguru, semoga Allah SWT menerima tobat kita” menjawab Dewi Cahya Karembong dengan linangan air mata. Kedua bekas istri Prabu Adilaya berpelukan, mereka memilih jalan masing-masing, Dewi Cahya Karembong memilih suatu tempat di Gunung Goong dan meninggal di sana.
BAB IV
Semenjak di tinggalkan oleh Prabu Adilaya Dayeuh Sumedang
seolah merasakan sesuatu yang hilang, raja yang bijaksana itu sementara pergi
meninggalkan Sumedang untuk berguru, namun banyak purnama telah berlalu dan
tahun pun berganti, tidak ada kabar berita, Ibu Suri kerajaan Sumnedang tentu
saja merasa cemas dan gelisah, akhirnya diputuskan untuk mengutus putra
keduanya untuk menyusulnya ke Mataram.
Singkat cerita, sampailah di Mataram, tetapi ternyata yang disusul sudah pergi ke arah Tatar Sukapura, Adik Prabu Adilaya menyusul kearah sana, tetapi karena tidak adanya keterangan mengenai kakaknya, tempat disemayamkan Prabu Adilaya terlewat, karena tempatnya memang agak tersebunyi, sang adik malah sampai kesuatu daerah di pinggir sungai yang ramai oleh orang berlalu lalang, ternyata disana ada sebuah saembara, siapa yang dapat mengalahkan seekor singa dengan tangan kosong akan dinikahkan kepada putri penguasa daerah yang cantik, banyak pemuda ikut serta tetapi tidak mampu mengalahkan singa tersebut, Pangeran Sumedang itu merasa tertarik, akhirnya dia turun ke gelanggang dan bisa mengalahkan singa tersebut sampai luka parah, sampai saat ini tempat itu dinamakan SINGAPARNA (singa yang luka parah)
Pangeran Sumedang itu mendapatkan putri cantik dan diserahi sebuah daerah untuk dibuka, di daerah itu dibangun sebuah kota yang mirip dengan ibu kota kerajaan dan menamakan daerah itu dengan nama MANGUNREJA. Berbagai kesibukan pangeran Sumedang itu menyebabkan niatnya untuk pulang terlupakan, sehingga Ibunya di Sumedang tetap mengharap kabar baik yang disusul ataupun yang menyusul juga belum kembali, akhirnya diputuskan untuk berangkat sendiri menelusuri jejak Prabu Adilaya.
Sesampainya di Mataram ternyata mengecewakan, Prabu Adilaya bersama istri dan kedua pengawalnya sudah berangkat ke tatar Pasundan, tanpa berpikir panjang Sang Ibu berangkat ke Tatar Pasundan, sepanjang perjalanan apabila melewati malam beliau selalu memohon kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memperoleh petunjuk dimana kedua anaknya berada, bila siang perjalananpun dilanjutkan, meleati tanah berpasir dan berbukit, akhirnya sampai ke daerah yang berawa-rawa, dari pinggir rawa, sang Ibu melihat sebuah cahaya, akhirnya perjalanan dilanjutkan dengan menyebrangi rawa dan sampai ke sebuah nusa.
Ternyata cahaya tadi bersumber dari gundukan tanah merah, seolah petunjuk bahwa ada sesuatu di sana, Sang Ibu menengadahkan tangan memohon petunjuk Yang Maha Kuasa, dan diperoleh petunjuk bahwa disanalah di kuburkan prabu Adilaya dan kedua pelayannya Sagolong dan Silihwati. Tangis pun tak tertahankan, air mata berurai deras menetes ke tengah gundukan tanah merah, putra sulungnya, pewaris tahta kerajaan Sumedang terkubur di sana. Doa pun dipanjatkan untuk melindungi makam putranya, maka air rawa itu bertambah naik beberapa meter dan makam Prabu Adilaya berada di pulau sebuah danau yang luas, ada bisikan kepada sang Ibu untuk menancapkan tongkat yang selama ini dibawanya, setelah tongkatnya ditancapkan ke tanah, seketika berubah menjadi pohon-pohonan rimbun yang meneduhi makam putranya. Pada saat akan pulang dan menyebrangi rawa yang sudah berubah menjadi danau, ada empat ekor ikan, sang Ibu menamakan ikan itu dengan nama si Gendam, si Kohkol, si Genjreng dan si Layung, dengan tugas untuk menjaga makam dari tangan-tangan jahil yang mengganggunya.
Ketika bermaksud untuk pulang. Sang Ibu bertemu dengan
dua orang penduduk setempat, beliau berpesan : “Mugi aranjeun kersa titip anak
kuring di pendem di eta nusa, jenengannana sembah dalem Prabu Adilaya, wangku
ka prabonan di sumedang mugi kersa maliara anjeuna dinamian juru kunci ( kuncen
) jeung kami mere beja saha anu hoyong padu beres, nyekar ka anak kami oge anu
palay naek pangkat atawa hayang boga gawe kadinya, agungna Allah cukang
lantaranana sugan ti dinya.” Semoga kalian bersedia untuk dititipi anak saya
yang dimakamkan di pulau itu, namanya Sembah Dalem Prabu Adilaya, yang memegang
tampu ke prabuan di Sumedang semoga kalian bersedia untuk memeliharanya, dan
saya memberitahukan kepada siapapun yang berselisih ingin beres, atau naik
pangkat juga ingin punya pekerjaan silahkan nyekar ke sana, agungnya kepada
Allah SWT semoga sareatnya dari sana” Setelah itu beliau pulang ke Sumedang.
Lembur Sinjang
Moyang
Di balik keindahan Situ Gede, ternyata ada sebuah kisah
yang tidak pernah terungkap, yakni tentang sebuah kampung yang hilang. Kampung ini
pada masa silam diberi nama Lembur Sinjang Moyang yang letaknya berada di
kawasan Situ Gede saat ini. Hanya, dimanakah persisnya, itu pula yang menjadi rahasia
secara turun temurun. Kerahasiaan Lembur Sinjang Moyang berkaitan erat dengan cerita
para koruptor di zaman kerajaan. Melalui kisah tersembunyi ini, maka dapat diketahui
bila keberadaan koruptor ternyata sudah adasejak zaman dahulu, khususnya di
zaman kerajaan Sunda. Dan kala itu, mereka bersembunyi di Situ Gede,
Tasikmalaya.
Riwayat Situ Gede sendiri memang tidak banyak diketahui. Sebab memang tidak ada catatan resmi yang
bisa dijadikan pegangan. Yang ada adalah cerita dari mulut ke mulut, dan itu pun dari kalangan terbatas. Apalagi menyangkut
kisah hilangnya Lembur Sinjang Moyang. Soal cerita tersebut, sebenarnya bukan karena banyak yang
tidak tahu.Namun memang kisahnya sendiri sudah lama dipendam oleh para leluhur.
Jadi sengaja disembunyikan supaya tidak ada
yang tahu. Mengapa harus disembunyikan? Sebab
kisah ditempat ini tidak baik untuk para generasi penerus.
Situ Gede mulai ada sejak tahun 1530, setelah salah satu gunung
di kawasan Tasikmalaya meletus. Nama gunung tersebut adalah Gunung Pancawayana.
Soal dimana letak gunung ini sendiri menjadi misteri hingga sekarang. Namun disebut-sebut
gunung ini masih ada, hanya sejak lama masyarakat menyebutnya dengan nama lain.
Sehingga keberadaan Gunung Pancawanaya ini tidak jelas lagi. Setelah Gunung
Pancawanaya meletus, dari dalam tanah keluarlah air dalam jumlahbesar.
Lama-lama membentuk telaga yang kini disebut Situ Gede. Sebelum adanya Situ Gede, persisnya di kawasan Situ Gede ini
terdapat sebuah Kampung Kuno. Disebut kampung kuno karena ia sudah berdiri sejak
zaman Kerajaan Tarumanegara dan Kampung inilah yang disebut Lembur Sinjang
Moyang.
Menurut penulusuran cerita para leluhur, adanya nama Sinjang
Moyang setelah ada kejadian besar, yakni peristiwa tahun 1501 Masehi yang mana ketika
itu, tepatnya kala subuh hari datanglah dalam jumlah besar pasukan Kerajaan Galuh
yang dibantu kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Garut, Tasikmlaya dan Ciamis.
Pasukan ini membantai seisi kampung, kecuali kaum hawa dananak-anak. Mengapa warga
Sinjang Moyang dihabisi dan dimusuhi oleh banyak kerajaan ketika itu? Lembur Sinjang Moyang dari dulu sudah dicurigai dan sering
dipakai sebagai tempat bersembunyinya para koruptor. Setiap pembesar kerajaan
yang menilep kekayaan kerajaan, larinya pasti ke Lembur Sinjang Moyang ini. Sehingga
tidak heran bila prajurit telik sandi kerajaan-kerajaan
ketika itu sudah mengawasi keberadaan para koruptor di kampung ini. Lantas mengapa penduduk Sinjang Moyang juga turut di habisi?
Sebab mereka membantu menyembunyikan para koruptor dan sekaligus mendapat bagian
dari hasil kejahatan mereka.Harta-harta kerajaan disembunyikan oleh para koruptor
ini antara lain emas, intan dan berlian. Hanya saja, entah bagaimana ceritanya,
sehingga kampung Sinjang Moyang ini menjadi tempat pelarian para koruptor tersebut.
Kabarnya, orang Kerajaan Sunda Galuh* yang sembunyi di tempat itu ada yang dari Kerajaan Kendan dan seterusnya sampai
ke zaman Padjadjaran. Sinjang Moyang sendiri artinya penutup leluhur. Sehingga oleh
leluhur penerus mereka, kisah kampung ini menjadi semacam aib. Sehingga diwanti-wanti
kisahnya agar tidak menyebar dan menjadi kisah turun temurun. Tak heran bila cerita
tentang Situ Gede ini pun menjadi hilang, karena memang sengaja di
tutup-tutupi.
*Kerajaan Sunda Galuh adalah suatu kerajaan yang
merupakan penyatuan 2 (dua) kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat,
yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kedua Kerajaan tersebut merupakan pecahan
dari Kerajaan Tarumanagara.Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan
naskah kuno, Ibu Kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi
Kota Bogor, sedangkan Ibu Kota Kerajaan Galuh adalah di Kota Kawali, yang
sekarang Kawali itu ada di daerah Kabupaten Ciamis.
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
Sejarah
memang tidak bisa terlepas dari kehidupan. Sejarah bisa diketahui dari
peninggalan-peninggalan pada zaman dahulu ataupun dengan cerita-cerita yang
beredar dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu. Begitu
pun dengan sejarah Situ Gede yang banyak diketahui dari cerita-cerita mulut ke
mulut yang dilakukan oleh masyarakat sekitar secara turun temurun. Tidak ada
catatan resmi mengetahui asal-asul sejarah Situ Gede ini, akan tetapi peran
masyarakat sekitar sangat membantu dalam mengetahui asal asul serta
cerita-cerita yang berkaitan dengan Situ Gede ini. Dari mulai keterkaitannya dengan Eyang
Prabudilaya yang merupakan seorang Raja dari Sumedang yang dimakamkan berserta
2 pelayan setianya Sagolong dan Silihwati karena di bunuh oleh kedua istri
Prabudilaya yang merasa disia-siakan karena selama mereka menikah tidak diberi
nafkah secara batin. Kemudian berlanjut tentang misteri lembur Sinjang Moyang
yang hampir tidak tercium keberadaaan serta asal-usulnya oleh masyarakat Tasikmalaya
pada zaman sekarang dikarenakan aksi tutup mulut yang dilakukan oleh masyarakat
zaman dulu atas lembur tersebut yang dianggap aib karena merupakan tempat
pelarian dan sembunyinya para koruptor kerajaan zaman dahulu untuk menimbun
harta hasil aksi korupsinya dari harta kerajaan. Akan tetapi sejatinya Situ
Gede merupakan tempat yang di anugerahkan Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai
tempat rekreasi serta sumber daya alam yang bermanfaat untuk warga yang
mendiaminya. Untuk itu kita sebagai
warga kota Tasikmalaya mesti bersyukur atas anugerah tersebut. Kita harus
menjaga serta melestarikan keberadaan Situ Gede dengan baik. Kita juga mesti
mengetahui asal-usul sejarah Situ Gede untuk memupuk kecintaan kita terhadap
tempat tersebut.
2. Saran
Sebaiknya
dinas pariwisata setempat berinisiatif untuk membuat suatu buku kecil seperti catatan resmi yang
membahas tentang asal usul Situ Gede yang kemudian dibagikan pada masyarakat
yang berkunjung. Supaya masyarakat yang berkunjung ke Situ Gede tersebut dapat
mengetahui sejarah dan perkembangan Situ Gede. Agar pembagiaannya lebih efektif
hendaknya buku tersebut dibagikan di pintu masuk beriringan dengan pembelian
tiket. Selain itu sarana dan prasarana yang terdapat disana
harus lebih ditingkatan serta dirawat dengan baik, agar dapat menjadi daya
tarik serta membuat pengunjung merasa nyaman.
DAFTAR PUSTAKA
Tabloid POSMO [1]
Edisi 627, TahunXI , 24 Mei 2011, hal 27; [2] Edisi 628,
Tahun XI 1 Juni 2011, hal.27
Keterangan Warga Sekitar Situ
Gede Kota Tasikmalaya.
Catatan dari Bapak Herman
Selaku Kuncen Situ Gede.
LAMPIRAN
1 Comments
sip
ReplyDelete