A. Latar Belakang Masalah
Pada saat
ini gadai adalah hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari namun pada
nyatanya masih banyak orang yang belum mengetahui hukum gadai dalam islam.
Tuntutan hidup yang semakin keras membuat banyak orang memilih mendapatkan uang
dan barang dengan cepat meski tidak mengetahui hukum-hukumnya dalam islam. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai hukum gadai
dan pemanfaatan barang gadai.
B. Rumusan Masalah
Adapun
makalah akan membahas tentang:
a)Apakah gadai itu ?
b) Bagaimana
sejarah pegadaian syariah di Indonesia?
c) Bagaimana
hukum pemanfaatan barang gadai?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Gadai
1.1. Pengertian Gadai Menurut Umum
(Konvensional)
Pegadaian
adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu
barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang
berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama
orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan
kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang
telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat
melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.Perusahaan
Umum Pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi
mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan
dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
1.2. Pengertian Gadai Menurut Syari’at Islam
Gadai dalam
perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian untuk
menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn secara
etimologi berarti “tetap”[1]. maka dari segi bahasa rahn bisa diartikan sebagai
menahan sesuatu dengan tetap. Ar-Rahn
adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan
barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan,
hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.
B. Landasan Hukum
Landasan
konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari
Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun dasar hukum yang dipakai adalah:
1) Q.S. Al
Baqarah 283
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
2) Hadits Nabi Muhammad S.A.W.
- Hadis Nabi Muhammad S.A.W. yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah RA: Dari Aisyah berkata “Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.
- “Dari Anas R.A bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR.Anas R.A)
- Dari Abu Hurairah R.A. Rasulullah saw. bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Kepada orang yang naik atau minum, maka ia harus mengeluarkan biaya perawatannya.
- Dari Abu Hurairah Radliyallaahu’anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya.” Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadits itu mursal.
Landasan
hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian gadai.
Adapun mengenai Prinsip rahn (gadai) telah memiliki fatwa dari Dewan Syari`ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas
C. Rukun dan Syarat Transaksi Gadai
1. Rukun Gadai
a) Orang
yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima
gadai (murtahin).
b)
Harta/barang yang dijadikan jaminan (marhun)
c) Utang
(marhun bih)
d) Sighat
adalah ucapan ijab dan qabul.
2. Syarat
Transaksi Gadai
a) Orang
yang berakad
Baik rahin
maupun murtahin harus cakap dalam melakukan tindakan hukum, baligh dan berakal
sehat serta mampu melakukan akad.
b)
Harta/barang yang dijadikan jaminan (marhun)
Harus berupa
harta yang dapat dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih, marhun harus
mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan, harus jelas dan spesifik, marhun itu
secara sah dimiliki oleh rahin dan merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran
dalam beberapa tempat.
c) Utang (
Marhun bih).
Marhun bih
harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin merupakan barang
yang dapat dimanfaatkan dan barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
d) Shigat.
Shigat tidak
boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang akan datang.
D. Sejarahnya Pegadaian Syariah
Terbitnya
PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan
Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus
diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah
hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha
Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa
operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga
Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa
terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Alloh SWT dan
setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit
Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang
menangani kegiatan usaha syariah.. Konsep
operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas
rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor
Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit
organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini
merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya
dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di
Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di
bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar,
Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003.
Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi
menjadi Pegadaian Syariah
E. Pemanfaatan Barang Gadai
Ada beberapa
pendapat tentang boleh tidaknya memanfaatkan barang gadai, yaitu :
1) Pendapat Syafi’iyah
Menurut
ulama Syafi’iyah yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah
rahin, walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan murtahin. Hal ini
berdasarkan hadis Rasululllah saw. berikut ini:
- Dari Abi Hurairah bahwa Nabi S.A.W. bersabda Gadai itu tidak menutup yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertangungjawabkan segalanya.(HR. Al-Syafi’i dan Daruqutny).
- Dari Umar bahwasannya Rasulullah saw.Bersabda Hewan sesorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya. (HR. Bukhary).
Berdasarkan
hadis di atas, menurut ulama Syafi’iyah bahwa barang gadai (marhun) hanya
sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai (murtahin), sedangkan kepemilikan
tetap ada pada rahin [2]. Dengan
demikian, manfaat atau dari hasil barang yang digadaikan adalah milik rahin.
Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak diperbolehkan
kecuali atas izin pemilik barang gadai.
2) Pendapat Malikiyah
Murtahin
dapat memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang dengan beberapa
syarat, yaitu :
Hutang disebabkan jual beli, bukan karena
menghutangkan.Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun untuknya.Jangka
waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak
ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal. Pendapat
Malikiyah ini berdasar kepada hadis Nabi Muhammad saw. yaitu:
- Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.bersabda Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah.
- Dari Umar bahwasannya Rasulullah S.A.W. bersabda: Hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya. (HR. Bukhary).
3) Pendapat Hanabilah
Ulama
Hanabilah membagi marhun menjadi dua katagori yaitu hewan dan bukan hewan.
Apabila barang gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat
ditunggangi maka boleh menjadikannya sebagai khadam. Tetapi apabila barang
gadai berupa rumah, sawah kebun dan sebagainya maka tidak boleh mengambil
manfaatnya. Adapun yang
menjadi landasan kebolehan murtahin mengambil manfaat dari
barang gadai yang dapat ditunggangi adalah hadis Rasulullah S.A.W.
Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Kepada orang yang naik atau minum, maka ia harus mengeluarkan biaya perawatannya (HR.Bukhari).
Boleh murtahin memanfaatkan barang gadai
atas sizin pihak rahin dan nilai manfaatnya harus disesuaikan dengan biaya yang
telah dikeluarkan untuk marhun didasarkan atas hadis : Barang jaminan itu dapat
ditunggangi dan diperah dan hadis : Hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa
seizin pemiliknya.
4) Pendapat Hanafiyah
Menurut
ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang
mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, alasannya adalah hadis Nabi saw. Dari Abi
Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda:Barang jaminan utang dapat
ditunggangi dan diperah, serta atas dasar menunggangi dan memerah susunya,
wajib menafkahi. (HR. Bukhari). Menurut
ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai sebagai barang jaminan
dan kepercayaan bagi penerima gadai, maka barang gadai dikuasai oleh penerima
gadai. Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai, maka
berarti menghilangkan manfaat barang tersebut, padahal barang tersebut
memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal tersebut dapat mendatangkan mudharat
bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai. Dari keempat
pendapat di atas pada dasarnya memanfaatkan barang gadai tidak diperbolehkan karena tindakan
memanfaatkan barang gadai tak ubahnya qiradh dan setiap qiradh yang mengalir
manfaat adalah riba. Akan tetapi jika barang yang digadaikan itu berupa hewan
ternak yang bisa diambil susunya atau ditunggangi dan pemilik barang gadai
memberi izin untuk memanfaatkan barang tersebut maka penerima gadai boleh
memanfaatkannya sebagai imbalan atas beban biaya pemeliharaan hewan yang
dijadikan marhun tersebut.
BAB III PENUTUP
Dari uraian
di atas dapat diambil suatu intisari bahwa gadai (rahn) adalah salah satu
bentuk muamalah sebagai realisasi saling membantu (taawun) agar tercipta
kemaslahatan umat yang merupakan salah satu prinsip dari hukum Islam. Gadai (rahn)
adalah sesuatu benda yang dapat dijadikan kepercayaan/ jaminan dari suatu
hutang untuk dipenuhi harganya, rahn sebagai jaminan bukan produk dan untuk
kepentingan sosial maka tidak boleh dijadikan modal investasi karena pada
dasarnya gadai ini bukan untuk kepentingan bisnis, jual beli atau bermitra. Terbitnya
PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan
Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus
diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah
hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha
Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa
operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga
Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa
terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Pendapat
ulama (Empat Mahzab) pada dasarnya
memanfaatkan barang gadai tidak
diperbolehkan karena tindakan memanfaatkan barang gadai tak ubahnya qiradh dan
setiap qiradh yang mengalir manfaat adalah riba. Akan tetapi jika barang yang
digadaikan itu berupa hewan ternak yang bisa diambil susunya atau ditunggangi
dan pemilik barang gadai memberi izin untuk memanfaatkan barang tersebut maka
penerima gadai boleh memanfaatkannya sebagai imbalan atas beban biaya
pemeliharaan hewan yang dijadikan marhun tersebut.
0 Comments